
Seorang Muslim sejatinya sering melakukan muhasabah (menghisab diri). Dengan sering melakukan muhasabah, seorang Muslim tentu akan mengetahui sejauh mana kadar ketataannya kepada Allah SWT. Saat dirinya merasa kurang taat atau masih jauh dari ketaatan kepada Allah SWT, sejatinya ia akan terdorong untuk terus berusaha keras meningkatkan ketaatannya itu. Ia akan selalu berusaha menjalankan setiap kewajibannya, baik yang terkait dengan fardhu ‘ain (seperti shalat, shaum, zakat dan haji, menutup aurat, menuntut ilmu, berbakti kepada orangtua, mencari rezeki yang halal, melakukan dakwah fardiyah dan amar makruf nahi mungkar, dll) maupun fardhu kifayah (seperti bedakwah secara berjamaah); juga melakukan banyak amalan sunnah (seperti banyak melakukan shalat malam/tahajud, shalat dhuha dan shalat-shalat nafilah; banyak membaca al-Quran dan berzikir; banyak bersedekah dan berinfak di jalan Allah SWT, dll).
Dengan muhasabah seorang Muslim tentu juga akan menyadari dosa-dosanya. Saat ia menyadari betapa banyak dosa-dosanya yang telah dia perbuat kepada Allah SWT, ia akan terdorong untuk segera bertobat kepada Allah SWT dengan cara banyak ber-istighfar (memohon ampunan-Nya), menyesal sedalam-dalamnya atas dosa-dosanya yang telah lalu sekaligus bertekad sekuat tenaga untuk meninggalkan dosa-dosa yang pernah ia lakukan itu.
Terkait itu Maymun bin Mahran pernah berkata, “Seseorang tidak tergolong sebagai orang yang bertakwa hingga dia menghisab (mengoreksi) dirinya lebih kuat daripada menghisab (mengoreksi) kawannya hingga ia tahu darimana asal makanannya, dari mana asal pakaiannya dan dari mana asal minumannya; apakah berasal dari yang halal atau yang haram?” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/458).