Sepantasnya kita bersyukur atas segala nikmat kehidupan yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT, Zat Pemberi nikmat hidup, bisa dilakukan dengan tiga cara.  Pertama: syukur dengan lisan, yakni dengan memperbanyak ucapan hamdalah, juga kalimat-kalimat thayyibah yang menunjukkan sikap pengagungan dan pujian kepada Allah SWT. Selain biasa mengucapkan hamdalah saat dikarunia suatu nikmat, Baginda Rasulullah saw. bahkan biasa mengucapkan hamdalah setiap kali menyampaikan khutbah-khutbahnya.

 

Kedua: syukur dengan kalbu. Syukur kepada Allah SWT tentu tak cukup hanya dengan lisan. Syukur juga perlu dilakukan dengan kalbu, yakni dengan selalu mengingat Zat Pemberi nikmat, Allah SWT. Bukan syukur namanya kalau kita sering melupakan Allah SWT, satu-satu Zat Pemberi nikmat. Bukan syukur namanya kalau kalbu kita sering kosong dari mengingat sang Pemberi nikmat.


 

Ketiga: Syukur dengan amal perbuatan. Tentu syukur dengan lisan dan kalbu tidak bermakna apa-apa jika tidak dibarengi dengan wujud syukur dengan amal perbuatan, yakni dengan tunduk patuh dan taat kepada Allah SWT, Zat Pemberi nikmat. Dengan kata lain, mensyukuri nikmat Allah SWT bermakna beribadah kepada Allah, mentauhidkan-Nya serta menaati Allah dan Rasul-Nya dengan cara menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segenap larangan-Nya (Lihat: Tafsir QS Ibrahim ayat 7, dalam Aysar at-Tafasir, II/258).

 

Ketiga cara bersyukur ini juga ditegaskan oleh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adai saat ia menyatakan bahwa syukur adalah ketundukan dan pengakuan kalbu atas nikmat Allah, pujian dengan lisan atas apa yang disyukuri dan amal perbuatan anggota badan dalam wujud ketaatan kepada-Nya (As-Sa’adi, At-Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan, I/211).