
Takwa adalah buah keimanan. Takwa sekaligus menjadi bukti bahwa seseorang benar-benar beriman kepada Allah SWT. Ketakwaan tentu membutuhkan sikap istiqamah. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “IttaqilLâh haytsumâ kunta.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Maknanya, “Bertakwalah kamu di manapun, kapan pun dan dalam keadaan bagaimanapun.”
Terkait takwa, Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berkata, “Akyas al-kays at-taqwâ wa ahmaq al-humqi al-fujûr.” Artinya, “Orang yang paling cerdas di antara orang-orang yang cerdas adalah yang paling bertakwa. Orang yang paling bodoh di antara orang-orang bodoh adalah yang suka bermaksiat.”
Apa yang dinyatakan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq benar adanya. Contoh kecil, betapa banyak pejabat yang bergaji tinggi dan menikmati ragam fasilitas negara yang serba lux dan tentu serba gratis, masih saja terdorong untuk korupsi. Ia pun akhirnya tertangkap tangan dan masuk penjara. Ia celaka oleh perbuatannya sendiri. Mengapa bisa begitu? Karena ia tidak bertakwa kepada Allah SWT. Saat ia tak bertakwa, ia tampak bodoh. Jika saja ia bertakwa, tentu ia akan memiliki sifat qanâ’ah dan tentu bisa bersikap cerdas; menahan diri untuk korupsi. Ia tak akan tergoda oleh sesuatu yang bisa membuat dirinya celaka sekaligus menghancurkan harga diri dan kehormatannya.
Karena itu penting kita mengamalkan perkataan sebagian ulama salaf yang berkeliling ke majelis-majelis seraya berkata, “Siapa saja yang ingin selalu mendapatkan keselamatan (di dunia dan akhirat), hendaklah dia bertakwa kepada Allah SWT.” (Ibnu Rajab, Ar-Rasâ’il, 3/110).