Dalam kehidupan ini manusia yang “normal” tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya; apalagi keyakinannya didasarkan pada dalil-dalil yang qath‘i. Karena itu sudah semestinya seorang Muslim yang menganut akidah Islam secara benar akan senantiasa berbuat dan bersikap dan bertindak selaras dengan akidah yang diyakininya itu. Jika tidak, berarti keimanannya dusta belaka; hanya keimanan “pura-pura”. Keimanan semacam ini tentu tidak ada faedahnya.

Jika demikian, apa konsekuensi logis bagi seorang Muslim yang telah menganut akidah Islam? Tidak lain adalah menjadikan akidah Islam sebagai landasan berpikir dan bertindak. Konsekuensinya, seorang Muslim harus berpikir dan bertindak islami. Berpikir islami maknanya adalah menilai segala fakta dari sudut pandang yang didasarkan pada akidah Islam. Cara berpikir islami juga diwujudkan dengan menilai sesuatu dengan standar syariah yang bersumber dari akidah Islam, yakni halal-haram; bukan atas dasar manfaat atau apapun. Ia, misalnya, akan menilai halal jual-beli dan mengharamkan riba; memandang halal pernikahan dan mengharamkan perzinaan; dst.

Demikian pula dalam bertindak; seorang Muslim akan selalu berpupaya bertindak islami. Dalam bertindak, ia akan selalu menyesuaikan diri dengan syariah Islam sebagai aturan yang bersumber dari akidah Islam. Ia akan melakukan perkara yang wajib, sunnah atau mubah saja; tidak akan melakukan tindakan yang haram. Ia akan menunaikan shalat fardhu dan shaum Ramadhan, membayar zakat, berdakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar, berbuat baik kepada sesama, dst. Sebaliknya, ia akan menjauhi riba, minuman keras, judi, zina, dll. Singkat kata, konsekuensi keimanan seorang Muslim adalah keterikatannya dengan totalitas Islam sebagai akidah dan syariah